Gizi Buruk Bukan Kurang Makan

Dibandingkan dua tahun lalu, kepedulian masyarakat terhadap gizi buruk saat ini jauh lebih tinggi. Di satu sisi hal itu menggembirakan. Namun, di sisi lain fenomena tersebut patut mendapatkan perhatian ekstra. Jangan sampai kepedulian itu ditekankan pada paradigma input semata. “Sudah saatnya paradigma input itu diubah menjadi outcome,” kata Andryanto SH MKes, Ketua Umum Persatuan Ahli Gizi Indonesia DPD Jatim, dalam talkshow Solusi Sehat di radio JJFM, Jumat (4/4).

Maksudnya? Sebagian besar masyarakat, menurutnya, masih menganggap gizi buruk disebabkan kurang makan atau rendahnya kualitas hidup sehingga tak mampu membeli makanan bergizi. Kemiskinan memang menjadi akar masalah. Tetapi, itu bukan satu-satunya penyebab. Gizi buruk mustahil terjadi secara tiba-tiba. Gizi buruk terjadi akibat kesalahan pola makan yang terjadi dalam jangka waktu lama. Selain itu ada aspek lain yang terlibat. Misalnya, masalah pertanian dan pendidikan.

Andryanto mengamati kebanyakan anak yang menderita gizi buruk tidak pernah dibawa ke Posyandu oleh orang tuanya. Biasanya mereka baru diperiksakan setelah mengalami keluhan penyakit tertentu. “Saat itu baru diketahui si anak menderita gizi buruk. Biasanya sudah parah karena telah terjangkit penyakit. Solusinya, pemerintah harus kembali mengaktifkan Posyandu,” tuturnya. Banyaknya kasus gizi buruk, termasuk di daerah perkotaan, diperparah dengan lemahhnya pendataan yang dilakukan aparat pemerintah. Akibatnya pengawasan gizi balita kian terabaikan.

Di negara-negara miskin, rata-rata setiap menit dua balita meninggal. Satu di antaranya akibat gizi buruk. Sementara di Jatim, mengacu pada data yang dimiliki gubernur, terdapat lima ribu anak penderita gizi buruk. “Saya yakin jumlah sebenarnya lebih banyak. Apalagi, berdasarkan indeks pembangunan manusia di Indonesia, Jatim menduduki peringkat ke-25 dari 30 propinsi,” tegasnya.

Berbeda dengan busung lapar yang disebabkan kekurangan asupan makanan, gizi buruk terjadi akibat kesalahan pola makan atau gizi yang tak sesuai kebutuhan tubuh. Jadi, seorang anak yang banyak makan pun dapat menderita gizi buruk bila kandungan gizi makanan yang dikonsumsi tidak sesuai kebutuhan usianya. Ironisnya, 50-60 persen kasus gizi buruk di Indonesia tidak diketahui. Kasus-kasus yang diketahui pun tak semuanya tertangani dengan baik. Ada yang terlambat diketahui sehingga terlanjur parah, ada pula yang enggan berobat. Penderita yang bersedia berobat pun, 10-20 persen di antaranya akhirnya memilih pulang paksa karena kendala biaya.

“Penderita dari keluarga tidak mampu memang dibebaskan dari biaya perawatan rumah sakit. Namun, mereka tetap harus menanggung biaya transportasi dan konsumsi selama menunggu anaknya di rumah sakit. Mereka keberatan dan memilih pulang paksa,” ungkap Andryanto.

Menurutnya, penajaman persepsi kalangan penentu kebijakan di daerah terhadap penanganan gizi buruk mutlak dilakukan. Bila hal tersebut tidak segera dilakukan, Indonesia akan kehilangan satu generasi. Langkah konkret juga perlu dilakukan dengan membentuk jaringan gizi. Wujudnya, antara lain, menghidupkan kembali Posyandu dan memberi penyuluhan gizi hingga ke pelosok-pelosok. (lee)

Leave a comment