Ramah dan murah senyum, itulah kesan yang langsung tertangkap bila kita bercakap-cakap dengan Konsul Jepang untuk Surabaya, Suzuki Yushi, narasumber talkshow Cross Culture di Radio JJFM, Kamis (11/10). Perbincangan semakin menyenangkan karena Yushi ternyata lancar berbahasa Indonesia. Padahal dia belum genap setahun bertugas di Surabaya.
“Waktu ditugaskan ke Surabaya, saya merasa kembali ke kampung halaman. Pengalaman selama 10 tahun menuntut ilmu di FISIP Unair menjadikan Surabaya tidak asing bagi saya. Bisa dibilang, Surabaya adalah kampung halaman kedua bagi saya,” tutur Yushi. Hanya bedanya, dulu Yushi datang ke Surabaya saat masih bujangan, sedangkan sekarang Yushi datang bersama keluarga.
Menurutnya, di mata orang-orang Jepang, Indonesia terkenal sebagai negara yang unik karena kaya akan budaya. Ini berbeda dengan Jepang yang homogen. Orang Jepang hanya berbicara dalam bahasa Jepang tanpa mengenal bahasa daerah seperti di Indonesia. Perbedaan hanya terletak pada dialek. Inilah yang membuat Yushi tertarik belajar di Indonesia. Sebelum belajar di kota Pahlawan, ia terlebih dahulu mempelajari bahasa Indonesia di Salatiga.
Sebagai diplomat, tugas pertamanya di Indonesia dimulai tahun 1997 di Konsulat Jenderal Jepang di Medan. Dua tahun kemudian ia dipindah tugaskan ke Kedutaan Besar Jepang di Jakarta selama 3 tahun. Setelah itu, dia kembali ke Tokyo dan sejak setahun lalu dikirim kembali ke Surabaya.
Berpindah-pindah tempat tugas tidak membuatnya kesulitan beradaptasi dengan bahasa daerah dan budaya setempat. Apalagi, Yushi gemar bergaul dengan orang-orang Indonesia. “Saya bisa berbahasa Indonesia karena memang suka bergaul dengan orang-orang Indonesia di manapun berada. Tapi di Surabaya ini masih sering kesulitan menangkap percakapan, karena orang Surabaya kalau berbicara sering bercampur bahasa Jawa. Padahal bahasa Jawa yang saya bisa hanya matur nuwun dan monggo-monggo saja,”tuturnya sambil tersenyum ramah.
Disinggung tentang budaya kerja keras yang melekat pada bangsa Jepang, Yushi menjelaskan bahwa budaya itu berawal dari tekad untuk bangkit dari penderitaan dan kemiskinan akibat kekalahan pada Perang Dunia ke-2. Saat itu rakyat Jepang sadar, hanya dengan perjuangan dan kerja keraslah negaranya bisa bangkit dari puing-puing kehancuran. Setelah Jepang menjadi salah satu raksasa ekonomi dunia, budaya kerja keras mulai luntur. Sekarang, bangsa Jepang tidak bisa dibilang gila kerja seperti pada tahun ’60 hingga ’70-an.
Meskipun bermarga Suzuki dan berasal dari Hamamatsu, kawasan industri di Jepang tempat perusahaan otomotif Suzuki berdiri, Yushi tidak punya hubungan dengan perusahaan otomotif raksasa itu. Pria rendah hati ini menerangkan, Hamamatsu merupakan kota industri yang cukup dikenal di Jepang karena banyak perusahaan besar bermarkas disana. Selain Suzuki, ada juga Honda dan Yamaha yang berkantor di sana. Bahkan tidak sedikit pula WNI yang magang di berbagai perusahaan di Hamamatsu. “Jadi, kalau suatu saat Anda berkunjung ke Hamamatsu, jangan heran kalau mendengar percakapan berbahasa Indonesia di kereta atau tempat umum. Karena ada ratusan WNI yang magang disana,” katanya.
Tidak cuma itu, Hamamatsu juga dikenal karena belutnya yang lezat. Belut Hamamatsu atau biasa disebut unaji, sangat terkenal di Jepang. Setahun sekali di bulan Mei, juga diadakan adu layang-layang yang diikuti peserta dari seluruh Jepang.
“Cuaca Hamamatsu juga cukup hangat, cocok untuk orang Indonesia. Bahkan, salju jarang turun di musim dingin sekalipun. Untuk sampai ke Hamamatsu, cukup naik Shinkansen (kereta api cepat) selama 1,5 jam dari Tokyo. Satu lagi kelebihan Hamamatsu, karakter orang-orangnya hangat dan bersahabat,”papar Yushi setengah berpromosi. (lee)
Filed under: Cross Culture, Talkshow | Leave a comment »